Alkisah,
di daerah Sumatra Utara, Indonesia, hiduplah seorang pemuda pengembara. Ia
mengembara ke berbagai negeri. Pada suatu hari, sampailah ia di sebuah tempat
yang alamnya indah dan subur. Di sekitar tempat itu terdapat sebuah sungai yang
jernih airnya. Pemuda itu tertarik untuk menetap di tempat itu. Akhirnya, ia
pun membangun sebuah rumah sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah itu terdiri
dari sebuah kamar tidur dan sebuah ruang dapur untuk memasak.
Usai mendirikan rumah, pemuda itu
segera mencari sebidang tanah yang subur untuk ia tanami berbagai jenis tanaman
seperti umbi-umbian dan sayur-sayuran. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia
pun mulai membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon besar dan membabat
semak-semak belukar. Setiap kali pulang ke rumahnya, ia selalu membawa kayu
bakar dan menyimpannya di kolong rumahnya untuk digunakan memasak sehari-hari.
Selain berladang, pemuda itu pergi ke sungai untuk memancing ikan untuk
dijadikan lauk.
Pada suatu hari, sepulang dari
ladangnya, pemuda itu pergi ke sungai memancing ikan. Sesampainya di sungai, ia
pun segera melemparkan pancing ke tengah sungai. Sudah cukup lama ia memancing,
tapi tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Berkali-kali ia mengangkat
dan melemparkan kembali pancing ke sungai, namun belum juga ada ikan yang
memakan umpannya.
“Aneh! Kenapa tidak seekor ikan pun
yang menyentuh umpanku? Padahal biasanya setiap aku melemparkan pancingku ke
sungai langsung disambar ikan. Apakah ikan di sungai ini sudah habis?” pikirnya
dalam hati.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu
mencoba sekali lagi menarik dan melemparkan kembali pancingnya agak ke tengah
sungai. Tetapi, tetap saja belum membuahkan hasil. Akhirnya ia memutuskan untuk
berhenti memancing. Namun, ketika hendak menarik pancingnya, tiba-tiba seekor
ikan menyambarnya. Setelah beberapa saat membiarkan pancingnya ditarik ikan itu
ke sana kemari, ia pun menariknya dengan pelan-pelan.
“Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan
besar yang menarik pancingku,” pikir pemuda itu.
Ternyata benar. Setelah dengan susah
payah pemuda itu menarik pancingnya hingga ke tepi sungai, tampaklah seekor
ikan besar tergantung dan mengelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan
cepat, ia mengangkat pancingnya agak jauh ke darat agar tidak terlepas ke
sungai. Alangkah senang hati pemuda itu, karena baru kali ini ia mendapatkan
ikan sebesar itu. Saat ia melepas mata pancingnya, ikan itu menatapnya dengan
penuh arti. Ia merasa tatapan mata ikan itu bagai tatapan mata seorang gadis
yang jatuh hati kepadanya. Namun, pemuda itu berpikir bahwa tidak mungkin
seekor ikan bisa jatuh hati kepadanya. Dengan perasaan gembira, ia pun segera
memasukkan ikan itu ke dalam keranjang ikan. Setelah itu, ia bergegas pulang ke
rumahnya sambil tersenyum membayangkan betapa lezatnya daging ikan besar itu
jika dipanggang.
Sesampainya di rumah, pemuda itu
langsung membawa ikan itu ke dapur. Ketika hendak memanggang ikan itu, ternyata
persediaan kayu bakar telah habis. Ia pun segera keluar mengambil kayu bakar di
kolong rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke dapurnya. Ikan yang
tersimpan di keranjangnya sudah tidak ada lagi.
“Di mana ikanku? Bukankah tadi dia
masih di keranjang ini?” gumam pemuda itu dengan heran.
Ketika memeriksa wadahnya, pemuda itu
melihat beberapa keping uang emas. Ia pun semakin heran dan bingung.
“Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di
sini? Siapa yang menaruhnya?” gumamnya lagi.
Dengan perasaan bingung, pemuda itu
mengambil kepingan uang emas itu dan hendak menyimpannya di kamar. Betapa
terkejutnya ia saat membuka pintu kamarnya. Ia melihat seorang gadis sedang
berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang terurai. Ketika
gadis itu membalikkan badan dan memandangnya, darah pemuda itu langsung
tersirap melihat kecantikannya. Selama bertahun-tahun mengembara ke berbagai
negeri, baru kali ini ia melihat gadis secantik dia.
“Hai, siapa kamu? Kenapa bisa berada di
dalam kamarku?” tanya pemuda itu heran.
Gadis itu bukannya menjawab pertanyaan
si pemuda, tetapi ia malah mengajaknya agar menemaninya ke dapur. Tanpa berkata
sedikitpun, pemuda itu menuruti pemintaan sang Gadis. Sesampainya di ruang
dapur, gadis itu langsung mengambil beras untuk dimasak. Sambil menunggu nasi
matang, gadis itu pun bercerita kepada si pemuda.
“Maaf Tuan, jika kehadiran hamba di
sini telah mengusik ketenangan Tuan. Sebenarnya hamba adalah penjelmaan dari
ikan yang Tuan bawa dari sungai tadi. Sedangkan kepingan uang emas yang ada di
wadah itu adalah penjelmaan sisik hamba,” kata gadis itu.
Sang Pemuda seakan-akan tidak percaya
dengan perkataan gadis itu. Tetapi apa yang dihadapinya itu adalah kenyataan,
bukan hanya mimpi belaka. Belum sempat ia berkata apa-apa, si gadis kembali angkat
bicara.
“Jika Tuan berkenan, bolehkah hamba
tinggal bersama Tuan di sini?” pinta gadis itu.
“Dengan senang hati, Putri!” jawab
pemuda itu.
Akhirnya, gadis itu pun tinggal di
rumahnya. Setelah beberapa minggu hidup bersama, pemuda itu melamarnya untuk dijadikan
istri.
“Baiklah, Tuan! Hamba menerima lamaran
Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu permintaan hamba,” kata gadis itu.
“Apakah permintaanmu itu, Putri?” tanya
pemuda itu.
“Tuan harus berjanji untuk tidak
menceritakan asal usul hamba sebagai penjelmaan ikan kepada siapa pun,” pinta
gadis itu.
“Baiklah, saya terima permintaanmu.
Saya bersumpah tidak akan pernah mengungkit asul-usul, Putri,” kata pemuda itu.
Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah,
keduanya pun menikah. Setahun kemudian, mereka pun dikaruniai seorang anak
laki-laki yang tampan. Mereka merawat dan membesarkan anak itu dengan perhatian
dan kasih sayang. Namun karena kasih sayang yang berlebihan, anak itu menjadi
anak yang manja dan pemalas.
Ketika anak itu beranjak remaja, ibunya
sering menyuruhnya mengantarkan makanan dan minuman untuk ayahnya yang sedang
bekerja di ladang. Namun anak itu selalu menolak perintah ibunya, sehingga
terpaksalah ibunya yang harus mengantar makanan itu.
Pada suatu hari, sang Ibu sedang merasa
tidak enak badan. Ia pun menyuruh anaknya agar mengantarkan bungkusan yang
berisi nasi dan ikan panggang untuk ayahnya. Mulanya anak itu menolak, namun
karena sang Ibu terus memaksanya, akhirnya dengan perasaan kesal anak itu
mengantar makanan itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba anak itu merasa lapar.
Ia pun berhenti dan membuka bungkusan itu. Dengan lahapnya, ia memakan sebagian
nasi dan lauknya hingga yang tersisa hanya sedikit nasi dan daging ikan yang
menempel di tulang. Setelah kenyang, ia pun membungkus kembali makanan itu dan
melanjutkan perjalanan menuju ke ladang. Sesampainya di ladang, ia segera
menyerahkan bungkusan itu kepada ayahnya.
“Wah, kamu memang anak yang rajin,
Anakku!’ puji sang sambil tersenyum.
Sang Ayah yang sudah kelaparan segera
membuka bungkusan itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat isi bungkusan itu
yang hanya sisa-sisa. Hatinya yang semula senang dan gembira, tiba-tiba berubah
menjadi kesal dan marah.
“Hai, kenapa isi bungkusan ini hanya
sisa-sisa?” tanya sang Ayah dengan wajah memerah.
“Maaf, Ayah! Di perjalanan tadi saya
sangat lapar, jadi saya makan sebagian isi bungkusan itu,” jawab sang Anak.
Mendengar jawaban itu, kemarahan sang
Ayah pun semakin memuncak. Ia pun memukul anaknya sambil berkata, “Dasar anak
tidak tahu diuntung! Kamu memang benar-benar anak keturuan ikan!”
Sambil menahan rasa sakit dipukuli,
anak itu bertanya kepada ayahnya, “Apa maksud Ayah? Kenapa mengatakan aku anak
keturunan ikan?”
“Asal kamu tahu saja, ibumu adalah
penjelmaan seekor ikan,” jawab Ayahnya.
Mendengar jawaban ayahnya, anak itu
segera berlari pulang ke rumahnya sambil menangis. Sesampainya di rumah, ia pun
langsung mengadu kepada ibunya.
“Ibu..., Ibu...! Ayah memukulku dan
mengatakan aku anak keturunan ikan,” kata anak itu.
Sang Ibu sangat sedih mendengar
pengaduan anaknya itu, karena suaminya telah melanggar sumpahnya dengan
kata-kata cercaan yang mengungkit asal asulnya. Seketika itu pula ia menyuruh
anaknya agar naik ke puncak bukit.
“Anakku! Naiklah ke puncak bukit itu
dan panjatlah pohon yang paling tinggi!” seru sang Ibu sambil meneteskan air
mata.
Tanpa banyak tanya lagi, anak itu pun
segera berlari ke atas bukit yang tidak jauh dari rumah mereka. Ketika anak itu
sampai di lereng bukit, sang Ibu pun segera berlari menuju ke sungai. Saat ia
berada di tepi sungai, cuaca yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap
gulita. Langit bergemuruh disusul petir menyambar-nyambar yang disertai dengan
hujan yang sangat deras. Pada saat itulah, sang Ibu segera melompat ke dalam
sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Tak berapa lama
kemudian, sungai itu banjir dan airnya meluap ke mana-mana, sehingga
tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Lama kelamaan, genangan air itu
semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi sebuah danau yang sangat besar.
Oleh masyarakat setempat, danau itu dinamakan Danau Toba.
*
* *
Demikian cerita Asal Mula Danau Toba dari daerah Sumatra
Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung
nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu
akibat buruk sifat terlalu memanjakan anak dan sifat tidak pandai menjaga
amanah.
Pertama,
akibat buruk karena terlalu memanjakan anak, sebagaimana tampak pada sikap si
Pengembara dan istrinya yang terlalu memanjakan anaknya dengan mencurahkan
perhatian dan kasih sayang secara berlebihan. Akibatnya, anaknya pun menjadi
pemalas.
Kedua,
akibat buruk tidak pandai memelihara amanah Orang yang tidak pandai memelihara
amanah adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Hal inilah yang terjadi pada si
Pengembara yang telah mengingkari janji dan sumpahnya dengan mengungkit-ungkit
asal-usul istrinya di depan anak mereka. Akibatnya, istrinya pun pergi
meninggalkannya dan kembali menjelma menjadi seekor ikan besar. Dikatakan dalam
tunjuk ajar Melayu:
siapa melalaikan
amanah,
hidup matinya takkan
berkah
sumber:
-
Isi
cerita diadaptasi dari Z. Pangaduan Lubis. 2000. Cerita Rakyat dari Sumatra Utara 2.
Jakarta: Grasindo.
- Anonim.
“Danau Toba,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba, diakses tanggal 17
Januari 2009).
- Tenas
Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.
Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan
Penerbit AdiCita Karya Nusa.
- http://www.ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/119-Asal-Mula-Danau-Toba
No comments:
Post a Comment